Patah hati, sedih dan prihatin membaca cerita kekerasan seksual yang baru saja terjadi di suatu sekolah di Jakarta itu. Semoga anak bisa kembali sehat dan pulih, serta ortunya diberi kesabaran. Dan pelakunya bisa mendapatkan sanksi yang layak atas perbuatannya.
Melihat kasus ini, langsung terbersit di kepala soal pendidikan seks. Pendidikan seks itu penting, tapi tetap aja kadang bingung menerapkannya dan nggak mudah untuk konsisten, ya nggak? At least buat saya, dan masih harus banyak belajar. Dan biasanya jadi lebih peduli kalau sedang ada kasus kekerasaan seksual, seperti baru-baru ini yang ramai dibicarakan di media, dan tentunya juga di grup-grup chat para mommies. Sejujurnya, peristiwa ini jadi pengingat juga untuk nggak longgar di urusan pendidikan seks dan perlindungan anak. Meski tentunya tidak perlu reaktif yang berlebihan yang jadinya menakut-nakuti anak kita.
Untuk anak saya yang sulung, Hanami, sekarang usia 5 tahun 9 bulan, saya dan suami menjalankan hal-hal dasar seputar pendidikan seks sejak Nami kecil. Seingat kami sejak dia mulai masuk playgroup di usia 2 tahun, saat ini dia mulai beinteraksi dengan orang dewasa selain orang rumah. Di usianya yang sekarang, Nami bisa BAK, BAB dan mandi sendiri tanpa bantuan, termasuk saat di toilet mal, masuk ke dalam bilik sendirian dan mengunci-membuka pintuya sendiri. Selain itu dia sudah lihai menggunakan istilah yang apa adanya untuk penyebutan kelaminnya yaitu vagina. Ayahnya gencar mengajarkan bahwa tidak boleh ada orang yang menyentuh vaginanya dan itu termasuk pengasuh dan juga guru sekolahnya. Iya baru sampai situ saja.
Tapi kami masih gagap di beberapa hal lain yang juga penting yaitu memperhatikan dari titik mana saja Nami mungkin memperoleh informasi seputar seks. Kalau dari tayangan tv, sejujurnya kami nggak selalu mendampingi, walau tv-nya cenderung “aman” yaitu channel anak-anak di tv kabel. Untuk tayangan di internet, seperti Youtube, perlu lebih seksama lagi nih untuk memperhatikan iklan yang mungkin muncul sebelum video klip yang diincar Nami mulai tayang.
Selain itu, kami juga belum melanjutkan lagi “program” pendidikan seks di rumah karena Nami belum menanyakannya lagi. Padahal memang semestinya untuk hal seperti ini sebaiknya tidak menunggu anak bertanya. Banyak PR, nih.
Balik lagi ke kekerasan seksual yang baru saja terjadi, lesson learned yang utama kalau buat saya adalah ternyata nggak ada tempat yang 100% aman. Meski sudah dilengkapi dengan sistem security yang canggih sekalipun, namanya oknum bisa ada di mana aja. Dengan kondisi seperti ini artinya nggak ada cara selain memberdayakan anak untuk bisa melindungi dirinya. Awalnya, bisa pendidikan seks tadi, dan tentunya life skills lainnya.
Di 24hourparenting.com ada beberapa konten menarik, ringkas dan mudah dipahami yang berkaitan dengan pendidikan seks, yaitu: 10 hal dasar tentang pendidikan seks, Sex edu: what to say, what to do, 10 hal yang tidak mendukung pendidikan seks. Selain itu, yang terpenting khusus untuk kekerasan seksual, bisa cek membantu anak mencegah kekerasan seksual.
Oiya, mengajarkan anak menyebut nama kelaminnya dengan nama yang benar kadang ada “rugi”-nya juga, lho. Suatu hari, Nami (waktu itu usia 4 tahun) pergi naik angkot berdua pengasuhnya untuk menuju ke ATM. Kebetulan siang itu panas dan angkotnya penuh. Nami mengeluh ke pengasuhnya, “Panas banget nih, vagina aku gatel.” Dengan suara yang lumayan keras. Semua orang di angkot melirik arah Nami, menurut cerita pengasuhnya ke saya. Hehe. Tentunya kami lupa mengajarkan bahwa penyebutan kelamin ada baiknya tidak disebutkan dengan suara keras karena berkaitan dengan sopan santun.